BAB 1
KEBUDAYAAN SUKU BATAK
A. SEJARAH SUKU BATAK
Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi
(silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan. Raja yang
bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa
kejayaan kerajaan Batak dipimpin oleh raja yang bernama. Sultan Maharaja Bongsu
pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai
kebijakan politiknya.
B. DESKRIPSI
LOKASI SUKU BATAK
Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak
dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu,
Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh
rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar
dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah
administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari
wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara,
dan Asahan.
C. UNSUR
BUDAYA SUKU BATAK
a.
Sistem Peralatan Hidup Teknologi
(atau teknologi) Suku Batak
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak
(tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit
(sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional
yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang
panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur
teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai
banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
b.
Mata Pencaharian Suku Batak
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat
dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki
perseorangan .
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan
sebagian penduduk disekitar danau Toba.
Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu,
temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
c.
Sistem Kemasyarakatan Suku
Batak
Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut
Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga
dari satu marga.Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok
pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh
simbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat
patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang
anggotanya sdah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka
dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang
nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip
yaitu : (a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c)
perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin.
1.
Kekerabatan
Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat
Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh diluar kelompoknya,
orang-orang dalam satu kelompok saling menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk
kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang
memberikan gadis disebut Boru.
2.
Hagabeon
Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu banyak, dan yang
baik-baik.
3.
Hamoraan
Nilai kehormatan suku Batak yang terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan
meterial.
4.
Uhum dan ugari
Nilai uhum orang Batak tercermin pada kesungguhan dalam menegakkan keadilan
sedangkan ugari terlihat dalam kesetiaan akan sebuah janji.
5.
Pengayoman
Pengayoman wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut di
emban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu.
6.
Marsisarian
Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.
d.
Bahasa Suku Batak
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa
logat, ialah: (1)Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang
dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4)
Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
e.
Kesenian Suku Batak
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas
(bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan
tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam
upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta
warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat
sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
f.
Pengetahuan Suku Batak
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam.
Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal
itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat
bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.
Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan
lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.
g.
Religi Suku Batak
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan .
Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara.
Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih
mmpertahankan konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi
bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan
bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya
dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan
merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia
mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga
konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga
percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
BAB 2
KEBUDAYAAN
SUKU ASMAT
A. SEJARAH
Suku
Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku
Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat
terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal
di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda
satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku
Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Ada
banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk
membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian
dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka
menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun
sago yang dipanggang dan dimakan.
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu
kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga.
Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga
dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri.
Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas
anak-anak Asmat sedang bersekolah.
B. UNSUR
BUDAYA SUKU ASMAT
a.
Sistem Peralatan Hidup Teknologi
(atau teknologi) Suku Asmat
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya.
Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari
anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara
sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke
laut untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena
di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam
penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu
air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat
tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat
sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan
oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan benda yang sangat berharga
bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran
barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari
pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah
menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit
siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan
kulit siput.
b.
Mata Pencaharian Suku Asmat
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan
suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku
asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam
mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari<
burung< babi hitan< komodo dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu
sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan.
kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
c.
Sistem Kemasyarakatan Suku
Asmat
Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah
berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya.
Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu
dilakukan oleh kaum perempuan. Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas
melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring ikan di laut atau di sungai.
Sedangka kaum laki-laki lebih sibuk dengan melakukan kegiatan perang antar clan
atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-laki juga lebih terpusat di rumah
bujang.
Sistem kekerabatan/ keluarga
Dasar kekerabatan masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau
kadang-kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah
keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun
demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas
uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah keluarga istri), atau
avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari
pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1
keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila
ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu
rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5
atau 8-10 orang.
Lembaga Pernikahan
Sistem kekerabatan orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur
pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh
di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan
sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik
secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah
yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri
diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam
masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan
adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang
janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia
berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua
orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan
biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian
jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki
melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan
pertikaian dan pembunuhan.
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan
di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah
perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).
Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904.
Tercatat pada tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di
sebuh teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang
didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi
warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan berhasil melukai
serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian pada
tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di
pesisir barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang
dialami oleh James Cook dan anak buahnya pada saat dahulu. Mereka didatangi
oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun,
kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang
menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka
berhasil melakukan pertukaran barang.
Kejadian ini yang membuka jalan adanya
penyelidikan selanjutnya di daerah Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke
daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang
pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh
seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907
hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun
1912 sampai 1913.
Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar daerahnya dan
menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang didatanginya. Untuk
mengatasi kekacauan yang sering terjadi tersebut, Pemerintah Belanda pada waktu
itu, melancarkan usaha-usaha dalam rangka mengurangi peperangan dan memulihkan
ketertiban. Pada tahun 1938, didirikan suatu pos pemerintahan yang berlokasi di
Agats. Namun terpaksa ditinggalkan ketika pecah perang dengan Jepang pada tahun
1942. Selama perang itu berlangsung, hubungan denga orang-orang Asmat tidak
terjalin. Hubungan tetap dengan masyarakat Asmat terjalin kembali dengan
didirikannya suatu pos polisi pada tahun 1953.
Mei 1963, daerah Irian Jaya resmi masuk
menjadi wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, Pemerintah
Indonesia melaksanakan usaha-usaha pembangunan di Irian Jaya termasuk daerah
Asmat. Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan
ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya
kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai.
Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan
baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan
rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan peemrintah dalam rangka
menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.
d.
Bahasa Suku Asmat
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yang
oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division,
bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dan
digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian (Papua)
Non-Melanesia.
e.
Kesenian Suku Asmat
Ragam kesenian suku Asmat yang banyak
dilakukan adalah seni pahat/ ukir. Benda-benda kesenian hasil ukiran Asmat yang
menarik adalah perisai-perisai, tiang-tiang mbis (patung bis/ leluhur), dan
tifa. Aneka warna gaya kesenian Asmat berdasarkan bentuk dan warna dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 daerah :
a.
Gaya seni Asmat hilir maupun hulu
sungai-sungai yang mengalir ke dalam Teluk Flamingo dan arah pantai Casuarina
(Central Asmat)
Benda seni yang termasuk dalam golongan ini, telah terkenal sejak jaman
ekspedisi militer Belanda pada tahun 1912. Ciri-ciri perisai dalam golongan ini
adalah berbentuk persegi panjang dan agak menyempit ujungnya. Di ujung atas ada
hiasan ukiran phallus atau gambar burung tanduk atau topeng. Motif-motif ukiran
dalam golongan ini juga terdiri dari motif burung kakatua, burung kasuari, kepala
ular, kaki kepiting, dll.
Hiasan ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian
belakang perahu, datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah, dll.
b.
Gaya Seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat)
Perisai pada golongan ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah yang agak
melebar dan biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian
kepala terpisah dengan jelas dari bagian lainnya dan berbenruk kepala kura-kura
atau ikan. Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal, sedangkan
hiasan bagian badan berbentuk musang terbang, katak, kepala burung tanduk,
ualr, dll.
c.
Gaya seni Asmat Timur
(Citak)
Kekhususan seni pada golongan ini tampak pada bentuk hiasan perisai yang
biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai melebihi tinggi orang
Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya tidak terpisah secara jelas
dari bagian badan perisai dan sering terisi dengan garis-garis hitam atau merah
yang diberi titik-titik putih.
d.
Gaya seni Asmat daerah sungai
Brazza
Perisai pada golongan ini hampir sama besar dan tinggi dengan perisai pada
golongan Asmat Timur. Bagian kepala juga biasanya terpisah dari bagian
badannya. Walaupun motif sikulengan sering dipakai untuk hiasan perisai, motif
yang biasa digunakan adalah motif geometri, lingkaran, spiral, siku-siku, dll.
e.
Seni
musik
Orang Asmat memiliki alat musik khusus yang biasa
digunakan dalam upacara-upacara penting. Tifa adalah alat musik yang paling
umum digunakan oleh masyarakat Asmat dalam kehidupannya. Tifa-tifa ini biasa
diukir dan dipahat oleh wow-ipits setempat.
f.
Seni
tari
Orang-orang Asmat kerapkali melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu saat
upacara sakral berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis dan dinamis yang
dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan di depan rumah bujang (Je) dalam
rangka upacara mbis.
f.
Pengetahuan Suku Asmat
Orang Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-rawa
berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya. Perbedaan pasang
dan surut mencapai 4-5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan oleh orang Asmat
untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu pasang surut, orang
berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang
naik.
a.
Pengetahuan
mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal
Pohon sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang
Asmat tinggal. Oleh karena itu, makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan
makanan tambahan seperti ubi-ubian dan berbagai jenis daun-daunan. Mereka juga
memakan berbagai jenis binatang seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi
hutan, burung, telur ayam hutan, dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita.
Kehidupan dianggap keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari
rahim ibu. Selain itu, gigi-gigi anjing yang telah mati biasa digunakan sebagai
perhiasan.
b.
Pengetahuan
mengenai zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya
Orang-orang Asmat hanya mengenal 3 warna dalm
kehidupannya, yaitu warna merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah merah dengan air. Untuk warna
putih, orang Asmat membakar semacam kerang yang kemudian ditumbuk dan dicampur
dengan air. Sedangkan warna hitam diperoleh dengan cara mencampurkan arang
dengan air. Ketiga warna ini biasa terlihat pada hasil ukiran dan juga cara
berhias yang dilakukan oleh orang-orang Asmat.
c.
Pengetahuan
mengenai sifat dan tingkah laku (kebutuhan) antar manusia
Tempat tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah membuat
mereka perlu mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti misalnya batu
sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa tempat dimana suku Asmat
tinggal. Oleh karena itu, mereka telah mengatahui kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki oleh masyarakat merekas sendiri maupun masyarakat di luar daerahnya.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, suku Asmat telah mengenal sistem barter.
Mereka telah biasa melakukan barter dengan masyarakat lain yang tinggal di
daerah dataran tinggi untuk mendapatkan alat-alatseperti kapak, batu, dsb yang
memudahkan mereka dalam kehidupannya.
d.
Pengetahuan
mengenai ruang dan waktu
Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang-orang Asmat pun berangkat pergi
pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Selama di
hutan, mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.
Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum diambil
pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil
penukaran dengan penduduk desa di lereng-lereng gunung.
g.
Religi Suku Asmat
a.
Simbol manusia dan burung pada
perahu
Orang Asmat biasa membuat ukiran di ujung perahu yang digunakannya. Ukiran tersebut bersimbol manusia dan burung. Ukiran yang berbentuk
manusia itu melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka percaya bahwa
almarhum akan senang karena diperhatikan, dan kemanapun perahu dan penumpangnya
pergi akan selalu dilindunginya. Ukiran burung dan binatang terbang lainnya
dianggap melambangkan orang yang gagah berani dalam pertempuran dan lambang
burung juga digunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau binatang
terbang yang berwarna gelap atau hitam.
b.
Hiasan
Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol burung kasuari atau kuskus. Sekeliling
matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila sedang marah.
Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus merupakan lambang dari si pengayau
kepala yang perkasa.
c.
Pohon
Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon. Pohon
merupakan benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat. Dalam pandangan
mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon melambangkan
kaki manusia, batangnya adalah tubuh manusia, dahan-dahannya adalah tangan
manusia, dan daun-daun adalah kepala manusia. Semua anggapan itu memiliki
alasan yang mendasar. Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan
berlumpur menyebabkan pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orang
Asmat.